Rabu, Juli 22, 2009

Keabsahan Kontrak Elektronik


Keabsahan Kontrak Elektronik menurut UU ITE dan BW

Kemajuan teknologi informasi akhir-akhir ini semakin hari semakin cepat menuntut adanya perkembangan yang dinamis dalam bidang hukum yang mengaturnya. Lahirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU No. 11 Tahun 2008- UU ITE) menjawab kebutuhan akan pengaturan dan perlindungan transaksi bisnis yang dilakukan lewat internet. Perlindungan transaksi bisnis ini begitu penting mengingat ada banyak sekali kontrak bisnis yang lahir dengan menggunakan media internet. Kontrak elektronik merupakan salah satu bentuk produk bisnis yang mendapatkan perlindungan secara khusus dalam UU ITE, khususnya melalui pasal 1 angka 17 jo. Pasal 18. Keberadaan kontrak elektronik jelas merupakan perkembangan baru dalam jenis kontrak yang modern sehingga membutuhkan pengaturan yang tepat dan berdasar hukum jelas. Oleh karena itu, sangatlah perlu dikaji lebih lanjut tentang keabsahan kontrak elektronik ini sebagai dasar dari perikatan antara dua pihak yang mengadakan perikatan. Pengkajian ini di dasarkan pada dua produk perundangan, Burgerlijk Wetboek (BW) sebagai undang-undang pokok (grondwet) dan Undang-undang ITE ( UU ITE) sebagai undang_undang yang baru.

Keabsahan kontrak menurut BW
BW merupakan produk hukum yang berasal dari negeri Belanda yang menerapkan sistem hukum Civil Law. Dalam sistem ini, keabsahan suatu kontrak diukur dari terpenuhinya kehendak para pihak pada klausula-klausula yang di sepakati (expression of will). Itu sebabnya, Pasal 1320 BW dengan tegas menyebutkan kesepakatan para pihak sebagai unsur perjanjian yang pertama dan utama. Para pihak dalam membuat kontrak harus sama-sama memberikan dan meminta di penuhinya hak dan kewajibannya pada pihak yang lain sehingga di dapatkan pemenuhan kebutuhan. Kontrak merupakan suatu ‘piagam’ yang menjadi dasar sekaligus pedoman bagi para pihak dalam melakukan perjanjian itu. Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem hukum common law yang menekankan syarat sah kontrak pada proses negosiasi, yang hanya menekankan pada bisa atau tidaknya kebutuhan itu di penuhi secara maksimal dan menghindarkan kerugian. Sistem common law ini memandang kontrak sebagai hasil dari proses negosiasi bukan hasil kesepakatan yang benar-benar lahir dari dua belah pihak secara penuh. Jadi sudah terdapat ketentuan baku yang mengatur kontrak ini pada sistem common law. Syarat sahnya perjanjian yang kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan, ini berarti para pihak tersebut tidak boleh di bawah umur (minderjarig) atau belum menikah. Dua syarat di atas merupakan syarat subyektif untuk sahnya perjanjian, jika ada pelanggaran terhadapnya maka pada kontrak tersebut berlaku akibat hukum dapat di batalkan (vernitegbar).
Dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yang memberikan batasan terhadap obyek perjanjian yang di perbolehkan, yaitu suatu hal tertentu dan suatu causa halal (sebab yang halal). Obyek kontrak harus jelas disebutkan dalam kontrak, menyangkut identifikasinya (shape, form & colour) tidak boleh terlalu abstrak apalagi kabur. Obyek ini pun harus di perbolehkan oleh hukum yang belaku (baik tertulis maupun tidak tertulis).
Keberadaan kontrak elektronik sebenarnya merupakan perwujudan inisiatif para pihak untuk membuat suatu perikatan. Hal ini sangat dilindungi pasal 1338 BW yang memberlakukan asas kebebasan berkontrak. Setiap pihak sangatlah terikat pada kontrak yang dibuat dalam bentuk kontrak elektronik sekalipun seperti undang-undang (pasal 1338 jo pasal 1340 BW). Oleh karena itu jelas sekali kontrak elektronik telah mendapatkan perlindungan hukum. Mengenai keabsahan kontrak elektronik di tinjau dari BW, maka harus di kaji satu persatu menurut 4 syarat sah kontrak seperti di atur dalam Pasal 1320 BW. Kontrak elektronik itu harus memenuhi syarat subyektif, yang mewujudkan kesepakatan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu guna memenuhi suatu tujuan. Para pihak juga harus cakap berbuat, dalam arti memiliki kewenangan berbuat untuk melakukan keputusan dan selanjutnya melakukan tanggung jawab atas perikatan yang disetujuinya. Sedangkan syarat obyektif, pada kontrak elektronik itu harus menyatakan obyek perjanjian yang jelas, tidak boleh kabur atau abstrak. Sebagai syarat terakhir kontrak tersebut haruslah berisikan hal-hal yang diperbolehkan oleh hukum, tidak melanggar norma susila, kesopanan dan peraturan perundang-undangan. Apabila kontrak elektronik ini memenuhi keempat syarat ini maka kontrak tersebut dapat dinyatakan sah.

Keabsahan Kontrak menurut UU ITE
UU ITE memberikan pengakuan Kontrak Elektronik ini pada pasal 1 angka 17 dengan ‘perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik’, selanjutnya mengenai sistem elektronik di sebutkan ‘serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.’ (pasal 1 angka 5). Pada hakekatnya kontrak elektronik ini adalah perjanjian yang di sepakati para pihak yang membuatnya hanya medium atau sarananya sangat berbeda, menggunakan sistem elektronik. Keabsahan suatu kontrak elektronik ini ternyata ditegaskan UU ITE pada pasal 5 ayat (3) dengan mensayaratkan keabsahan kontrak (dokumen elektronik) bila menggunakan Sistem Elektronik yang sudah diserifikasi sebagaimana di atur dalam pasal 13-16 UU ITE. Persyaratan menggunakan sarana sistem elektronik yang sudah di sertifikasi ini agaknya merupakan suatu usaha preventif bagi orang yang ingin berdalih atau berbuat curang setelah membuat perikatan dengan beralasan kontrak elektronik itu tidak sah dan mengikat karena tidak diakui secara spesifik oleh undang-undang. Sebenarnya tanpa dinyatakan seperti ini pun, setiap kontrak yang dibuat melalui sistem elektronik tetap saja sah (bila memenuhi 4 syarat kontrak) meskipun tidak menggunakan sistem elektronik yang sudah diwajibkan. Adanya itikad baik merupakan faktor utama yang dilihat dan dipertimbangkan dalam suatu pembuatan kontrak. Oleh karena sulitnya mengukur itikad baik itu di dalam transaksi elektronik maka keberadaan pasal 5 ayat (3) UU ITE sangat baik apalagi berkaitan dengan keabsahan alat bukti nantinya.
Kontrak elektronik ini ternyata berisikan transaksi elektronik yang sudah memperoleh kesepakatan dari masing-masing pihak (pasal 18 ayat (1) UU ITE). Berikut di atur pula kejelasan tentang hukum yang akan berlaku dan di anut dalam kontrak ini (choice of law). Mengenai kapan adanya waktu penawaran dan permintaan UU ITE memberikan ketentuan yang bersifat mengatur. Selama tidak diperjanjikan lain oleh kedua belah pihak maka waktu pengiriman adalah saat Informasi itu telah dikirim ke alamat tujuan (pasal 8 ayat (1) UU ITE). Sedangkan mengenai waktu penerimaan informasi elektronik adalah saat Informasi tersebut memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali si penerima. Dapat di simpulkan, adanya perbedaan waktu pengiriman dan penerimaan adalah hal yang bisa terjadi dalam proses transaksi perikatan atau terbentuknya kontrak. Hanya saja pasal 8 ayat (2) UU ITE memberikan tanggung jawab bagi si penerima informasi untuk melakukan inisiatif pengawasan atas sistem elektroniknya apakah informasi elektronik yang dimaksud sudah di terima atau kah belum.

Dengan demikian, kontrak elektronik merupakan suatu wujud inisiatif dari para pihak dalam membuat perikatan melalui sistem elektornik (internet). Baik BW maupun UU ITE telah memberikan dasar yang jelas bagi keabsahan kontrak elektronik ini. BW memberikan 4 syarat sah kontrak sebagai dasar pembuatan kontrak elektronik yang sah dimana harus dilandasi dengan itikad baik. Sedangkan UU ITE memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat preventif mengingat karakteristik kontrak elektronik begitu beragam dan unik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar